HUJAN UNTUKMU


https://unsplash.com/


"Akankah hujan datang?" Aku bertanya padamu yang berjalan mendahuluiku dengan kepala tertunduk, menyembunyikan wajah penuh minyak dan matamu yang sayu.

"Iya, tapi tidak hari ini," jawabmu tanpa melihat padaku.

"Kenapa?" Aku berteriak agar mendapat perhatianmu.

Kamu diam saja, tak mau berhenti melangkah. Ah, kamu memang selalu begitu.

Aku berlari berusaha menjajarimu. "Hei, mari kita berpura-pura kalau hujan akan datang hari ini!"

Kamu berhenti tiba-tiba sehingga aku menabrakmu, wajahku terbentur punggungmu. Kamu menoleh menatapku, dan matamu rasanya sedang berkata, “Kamu hanya akan menipu dirimu sendiri!” Lalu kamu melangkah lagi, berbelok ke kanan. Membiarkanku di belakang.

Aku mengikutimu. "Lihat itu! Awan pekat di utara. Hujan memang akan datang!" kataku bersemangat sambil menyentuh bahumu dan tanganku yang satunya menunjuk langit di belakang kita.

"Tapi tidak jadi, kan? Seperti kemarin."

"Mungkin besok, atau besoknya lagi."

Suara klakson berbunyi nyaring, sebuah mobil tiba-tiba melaju kencang mendahului kita, nyaris menabrakku. Aku jatuh terduduk di aspal yang keras dan panas.

"Kamu tidak apa-apa?" tanyamu penuh simpati sambil membantuku berdiri.

Aku mengangguk.

Kamu menggandeng tanganku, menggenggamnya sangat erat hingga membuat jemariku sakit. Kita berjalan berjejeran dan terdiam sambil mengusap peluh di dahi kita masing-masing. Kulit kita begitu cokelat pekat dan berminyak. Tiga tahun, musim belum juga berganti. Matahari terus bersinar, tapi sorot matamu justru padam. Hujan harus datang. Untukmu.

"Hei, bagaimana kalau kita membeli hujan saja?” Aku mendapat ide brilian. “Mungkin di supermarket itu ada," kataku sambil menunjuk sebuah minimarket di seberang kita. Aku tahu pasti ada harapan.

Kamu berhenti dan meradang, "Beli hujan? Kau gila!" 

Aku tidak peduli, lalu melepas genggamanmu dan berlari menyeberang jalan, menuju minimarket itu. Aku tahu, kamu akan mengikutiku. Pasti begitu.

Kamu hanya menatapku saat aku keluar dari minimarket. Matamu memancarkan harapan. Kamu percaya. Ya, kamu kini percaya kalau minimarket menjual hujan.

Tapi … "Hujan sudah sold out," kataku. Wajahmu murung lagi.

Aku segera menarik tangannya, dan berlari di atas aspal yang hampir membakar sandal karet kita. Angin bertiup mengembuskan panas dan debu. Aku melihat wajahmu hingga tak sanggup untuk tidak menertawaimu yang begitu dekil dan kotor. Kamu merengut, seperti biasa. Aku tetap tertawa.

Kita berhenti setelah tiba di depan sebuah minimarket lainnya yang sama-sama terbuat dari kaca transparan seperti minimarket yang sebelumnya. Di dalam sana berjejalan orang-orang.

"Kata pramuniaga di minimarket tadi, minimarket yang ini sudah restock hujan," kataku.

Kamu tersenyum, dan tiba-tiba menarikku, memasuki minimarket dengan begitu bersemangat. Aku senang melihatmu seperti itu. Kita pun segera menjadi bagian di dalam kerumunan orang-orang yang penuh peluh dan bau. Sama seperti kita.

Benar, minimarket ini sudah restock hujan dengan berbagai macam variasinya. Bahkan pilihan warnanya pun bermacam-macam. Lihat, itu benar-benar… hujan. Hujan! Untukmu. Aku melihat-lihat hujan yang dipajang itu.

Orang-orang berteriak-teriak, “Aku beli hujan tropis!”, “Aku mau hujan yang diskon itu!”, “Aku mau hujan yang ungu!”, “Ada hujan salju?”, “Bisa beli hujan custom?”

Rupanya mereka juga akan membeli hujan. Hei, aku juga mau! 

Aku sedang menimbang-nimbang hujan mana yang akan kubeli untukmu. Tapi aku melihatmu diam-diam menghindari kerumunan di depan rak hujan, keluar dari minimarket. Aku mengikutimu, dan di luar aku baru sadar, kamu tampak begitu merana.

Kenapa? Apa kamu tak menyukai variasi hujan-hujan yang dijual itu? Tidak, kamu tidak boleh begitu!

"Harganya terlalu mahal,” katamu lirih, seolah mendengar pertanyaan batinku. “Kita tidak mampu membelinya.”

Apa? Tapi, kita sudah melihat hujan di dalam toples-toples kaca mengilap itu, di depan mata kita! Dan sekarang kamu bilang kita tidak mampu membelinya?

Aku tertegun.

Iya, kamu benar, kita tidak bisa membelinya. Kenapa aku begitu bodoh dan mengira kita akan dapat membeli hujan-hujan itu?

Aku sedih. Sedih sekali. Aku sangat kecewa.

Tapi pasti ada cara. Iya, kan? Kita harus mencari uang untuk membelinya. Iya, kan? Atau mungkin sebentar lagi hujan akan datang.

Atau… barangkali kamu benar, tidak akan ada lagi hujan untuk kita. Selamanya.

Hatiku terasa begitu hancur.

Aku hanya bisa terdiam, menatap matamu dalam-dalam.

Lalu samar-samar di balik pandanganku yang memburam, aku melihat senyummu merekah. Kamu terlihat begitu bahagia, bahkan tak pernah kulihat sebelumnya kamu tampak begitu ceria.

“Hujan! Hujan!” teriakmu. Lalu kedua telapak tanganmu mengusap wajahku. “Lihat, kamu membuat hujan!”

***
Terima kasih, untuk hujan hari ini.
Jogja, 6 November 2015
Weka Swasti


Weka Swasti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar