"Akankah hujan datang?" Aku bertanya padamu
yang berjalan mendahuluiku dengan kepala tertunduk, menyembunyikan wajah penuh
minyak dan matamu yang sayu.
"Iya, tapi tidak hari ini," jawabmu tanpa
melihat padaku.
"Kenapa?" Aku berteriak agar mendapat
perhatianmu.
Kamu diam saja, tak mau berhenti melangkah. Ah, kamu
memang selalu begitu.
Aku berlari berusaha menjajarimu. "Hei, mari kita
berpura-pura kalau hujan akan datang hari ini!"
Kamu berhenti tiba-tiba sehingga aku menabrakmu, wajahku
terbentur punggungmu. Kamu menoleh menatapku, dan matamu rasanya sedang
berkata, “Kamu hanya akan menipu dirimu sendiri!” Lalu kamu melangkah lagi,
berbelok ke kanan. Membiarkanku di belakang.
Aku mengikutimu. "Lihat itu! Awan pekat di utara.
Hujan memang akan datang!" kataku bersemangat sambil menyentuh bahumu dan
tanganku yang satunya menunjuk langit di belakang kita.
"Tapi tidak jadi, kan? Seperti kemarin."
"Mungkin besok, atau besoknya lagi."
Suara klakson berbunyi nyaring, sebuah mobil tiba-tiba
melaju kencang mendahului kita, nyaris menabrakku. Aku jatuh terduduk di aspal
yang keras dan panas.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyamu penuh simpati
sambil membantuku berdiri.
Aku mengangguk.
Kamu menggandeng tanganku, menggenggamnya sangat erat
hingga membuat jemariku sakit. Kita berjalan berjejeran dan terdiam sambil
mengusap peluh di dahi kita masing-masing. Kulit kita begitu cokelat pekat dan
berminyak. Tiga tahun, musim belum juga berganti. Matahari terus bersinar, tapi
sorot matamu justru padam. Hujan harus datang. Untukmu.
"Hei, bagaimana kalau kita membeli hujan saja?” Aku
mendapat ide brilian. “Mungkin di supermarket itu ada," kataku sambil
menunjuk sebuah minimarket di seberang kita. Aku tahu pasti ada harapan.
Kamu berhenti dan meradang, "Beli hujan? Kau
gila!"
Aku tidak peduli, lalu melepas genggamanmu dan berlari
menyeberang jalan, menuju minimarket itu. Aku tahu, kamu akan mengikutiku.
Pasti begitu.
Kamu hanya menatapku saat aku keluar dari minimarket.
Matamu memancarkan harapan. Kamu percaya. Ya, kamu kini percaya kalau
minimarket menjual hujan.
Tapi … "Hujan sudah sold out," kataku.
Wajahmu murung lagi.
Aku segera menarik tangannya, dan berlari di atas aspal
yang hampir membakar sandal karet kita. Angin bertiup mengembuskan panas dan
debu. Aku melihat wajahmu hingga tak sanggup untuk tidak menertawaimu yang
begitu dekil dan kotor. Kamu merengut, seperti biasa. Aku tetap tertawa.
Kita berhenti setelah tiba di depan sebuah minimarket
lainnya yang sama-sama terbuat dari kaca transparan seperti minimarket yang
sebelumnya. Di dalam sana berjejalan orang-orang.
"Kata pramuniaga di minimarket tadi, minimarket yang
ini sudah restock hujan," kataku.
Kamu tersenyum, dan tiba-tiba menarikku, memasuki
minimarket dengan begitu bersemangat. Aku senang melihatmu seperti itu. Kita
pun segera menjadi bagian di dalam kerumunan orang-orang yang penuh peluh
dan bau. Sama seperti kita.
Benar, minimarket ini sudah restock hujan dengan
berbagai macam variasinya. Bahkan pilihan warnanya pun bermacam-macam. Lihat,
itu benar-benar… hujan. Hujan! Untukmu. Aku melihat-lihat hujan yang dipajang
itu.
Orang-orang berteriak-teriak, “Aku beli hujan tropis!”,
“Aku mau hujan yang diskon itu!”, “Aku mau hujan yang ungu!”, “Ada hujan
salju?”, “Bisa beli hujan custom?”
Rupanya mereka juga akan membeli hujan. Hei, aku juga
mau!
Aku sedang menimbang-nimbang hujan mana yang akan kubeli
untukmu. Tapi aku melihatmu diam-diam menghindari kerumunan di depan rak hujan,
keluar dari minimarket. Aku mengikutimu, dan di luar aku baru sadar, kamu
tampak begitu merana.
Kenapa? Apa kamu tak menyukai variasi hujan-hujan yang
dijual itu? Tidak, kamu tidak boleh begitu!
"Harganya terlalu mahal,” katamu lirih, seolah
mendengar pertanyaan batinku. “Kita tidak mampu membelinya.”
Apa? Tapi, kita sudah melihat hujan di dalam
toples-toples kaca mengilap itu, di depan mata kita! Dan sekarang kamu bilang
kita tidak mampu membelinya?
Aku tertegun.
Iya, kamu benar, kita tidak bisa membelinya. Kenapa aku
begitu bodoh dan mengira kita akan dapat membeli hujan-hujan itu?
Aku sedih. Sedih sekali. Aku sangat kecewa.
Tapi pasti ada cara. Iya, kan? Kita harus mencari uang
untuk membelinya. Iya, kan? Atau mungkin sebentar lagi hujan akan datang.
Atau… barangkali kamu benar, tidak akan ada lagi hujan
untuk kita. Selamanya.
Hatiku terasa begitu hancur.
Aku hanya bisa terdiam, menatap matamu dalam-dalam.
Lalu samar-samar di balik pandanganku yang memburam, aku
melihat senyummu merekah. Kamu terlihat begitu bahagia, bahkan tak pernah
kulihat sebelumnya kamu tampak begitu ceria.
“Hujan! Hujan!” teriakmu. Lalu kedua telapak tanganmu
mengusap wajahku. “Lihat, kamu membuat hujan!”
***
Terima
kasih, untuk hujan hari ini.
Jogja, 6 November 2015
Weka Swasti
Jogja, 6 November 2015
Weka Swasti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar